Pages

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 28 November 2013

Makalah Hukum Perlindungan Konsumen

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis ang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adana perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.

Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan perjanjian, yaitu jika perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian pada konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu.
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban Pemerintah berperan mangatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negative bagi perlindungan konsumen.
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan aspek keperdataan?
2.      Apa yang dimaksud dengan aspek product liability?
3.      Apa yang dimaksud dengan aspek hukum publik?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Pustaka
·         Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.[1]
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu[2]:
“ Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”
Sedangkan konsumen menurut naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.[3]
Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK, yang di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen, sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”[4]
·         Produsen
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Pengertian yang luas mengenai produsen terdapat dalam UUPK, namun istilah produsen sebagai lawan dari isrilah konsumen, melainkan pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam UUPK adalah sebagai berikut:[5]
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik  yang berbentuk bdan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Sementara Pasal 1 butir 5[6] memberikan batasan yang hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang dikandung UUPK. Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang mengimpor suatu produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini sengaja dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC.
B.     Isi
A.    ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam:
1)      KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2)      KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua,
3)      Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
1.      Hal-Hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang suatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa diantranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
2.      Beberapa Bentuk Informasi
Di antara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (pasal 9, 10, 12, 13, 17, dan pasal 20).

a.       Tentang Iklan
KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dalam Staasblad no. 23 dengan segala tambahan dan/atau perubahannya, tidak memberikan pengertian dan/atau memuat kaidah-kaidah tentang periklan.
Menurut ketentuan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi:
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya.
Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan ikaln. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja. Departemen Kesehatan menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung”.[7]
Adapun sistem penyiaran nasional pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah  siaran  informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.[8] Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan .
Mengenai perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.       Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa,
b.      Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa,
c.       Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa,
d.      Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa,
2)      Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peradaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
b.      Tentang Label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Mengenai Pasal 30 ayat (2) e dalam penjelasan Undang-Undang Pangan[9]disebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam. Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan/atau memasukkan pengan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat islam.
Konsumsi daging bagi konsumen di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, walaupun secara ilmiah daging tersebut sehat dikonsumsi, namun konsumen yang beragama Islam masih memebutuhkan persyaratan lain yang dapat menentramkan hatinya. Hal ini harus diperhatikan, karena salah satu keharusan bagi importer dan/atau pengedar daging yang berasal dari luar negeri adalah mencegah timbul dan menjalarnya penyekit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan ketentram batin konsumen. Untuk menjaga ketentraman batin konsumen tersebut, maka pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal.
Salah satu contoh pemberian informasi untuk kepentingan konsumen yang beragama Islam adalah adanya ketentuan bahwa:
1)      Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan
2)      Tanda peringatan tersebut yang dimaksud ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi: “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf besar berwarna merah dengan ukuran sekurang-kurangnya univers medium corp 12.
UU Barang, UU No 10 Tahun 1961, memberikan informasi tentang barang. Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan:
Pemberian nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, si fat, susunan bahan, bentuk banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau diletakkan pada barang pembungkusnya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan atau, meletakkan nama dan/atau tanda-tanda itu.
Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini, dapat dikenakan ketentuan pidana ekonomi. Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau pembungkusnya. Ketentuan tentang tindakan perlindungan kesehatan manusia tidak hanya berlaku terhadap produk impor, namun juga terhadap produk pangan lokal, sehingga setiap orang dilarang mengadakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Keterangan yang harus dimuat pada label/etiket tersebut ditetapkan (Pasal 7 ayat (1) dan (2) terdiri atas:
-          Nama makanan dan/atau merk dagang,
-          Komposisi, kecuali makanan yang cukup diketahui komposisinya secara umum,
-          Isi netto,
-          Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau mengedarkan,
-          Nomor pendaftaran,
-          Kode produksi,
-          Untuk jenis makanan tertentu yang ditetapkan oleh menteri kesehatan, harus dicantumkan tanggal kadaluarsa, nilai gizi, petunjuk penggunaan dan cara penyimpanannnya.
Masa daluwarsa suatu produk (tanggal, bulan dan tahun) dicantumkan pada label makanan dimaksudkan agar konsumen mendapat informasi yang jelas mengenai produk yang dibelinya atau dikonsumsinya. Akan tetapi tanggal yang biasanya tercantum pada label produk tersebut tidak hanya masa daluwarsa, namun tanggal-tanggal lain. Beberapa jenis tanggal pada label adalah:

a.       Diproduksi atau dikemas tanggal.. (manufacturing or packing date),
b.      Dijual paling lama tanggal.. (sell by date),
c.       Digunakan paling lama tanggal.. (use by date),
d.      Sebaiknya digunakan sebelum tanggal.. (date of minimum durability) atau (best before).
Berkaitan dengan pencantuman tanggal daluwarsa pada label suatu produk, perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi salah pengertian, karena tanggal daluwarsa tersebut bukan merupakan batas mutlak suatu produk dapat digunakan atau dikonsumsi, karena tanggal daluwarsa tersebut hanya merupakan perkiraan produsen berdasarkan studi atau pengamatannya, sehingga barang yang sudah dilewati masa daluwarsa pun masih dapat dikonsumsi sepanjang dalam kenyataanya produk tersebut masih aman untuk dikonsumsi, sebaliknya, suatu produk dapat menjadi rusak atau berbahaya untuk dikonsumsi sebelum tanggal daluwarsa yang tercantum pada label tersebut.
Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan dilarang dan dapat diancam dengan sanksi-sanksi sebgaimana termuat dalam KUHP dan/atau tindakan administrative berupa penarikan nomor daftar produk itu dan/atau tindakan lain berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label dinyatakan sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimum satu tahun dan/atau denda maksimum Rp. 15.000.000,00 (Pasal 84 jo. Pasal 85).
c.       Hal-Hal yang Berkaitan dengan Perikatan
Sistem hukum perdata mengenal asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dianut di dalam KUHPerdata. Asas ini disebut dengan freedom of contract atau laissez faire, yang di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan, semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat, sama kekuatannya dengan undang-undang, bagi mereka yang melakukan perjanjian. Dalam KUHPerdata Buku ke-III, tentang Perikatan, termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko-resiko jenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan (Pasal 1233). Perjanjian berlaku bagi pihak yang melakukan perjanjian itu, mempunyai konsekuensi bahwa hanya kepada pihak yang ikut melakukan perjanjian itulah berlaku perjanjian itu.
Dengan demikian, pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Berlakunya perjanjian hanya kepada pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian disebut dengan privities of contract. Dapat diartikan kira-kira bahwa perjanjian tersebut hanya merupakan kepentingan ptivat atau ptibadi dari pihak-pihak pembuat perjanjian itu saja. Perikatan yang terjadi karena undang-undang, baik karena undang-undang maupun  sebagai akibat perbuatan seseorang.
Namun kendati asas kebebasan berkontrak dijamin di dalam hukum perdata, suatu perjanjian dapat dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu, sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dikatakan pasal ini bahwa sahnya suatu perjanjian, apabila didasarkan kepada:[10]
1.      Kesepakatan dari mereka yang mengikat diri (agreement),
2.      Kecakapan dari pihak-pihak (capacity),
3.      Mengenai hal tertentu (certainty of terms),
4.      Suatu sebab yang halal (consideration).
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat mengakibatkan terjadinya cedera janji (wanprestatie). Perbuatan cedera janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai janji untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga (Pasal 1236 dalam hal perjanjian memberikan sesuatu, Pasal 1239, dan Pasal 1242 dalam hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat sesuatu, Pasal 1234, 1244, 1246) dan seterusnya. Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, kerugian yang telah dialami, juga termasuk keuntungan (winstderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tertentu.
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang dapat juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara prang tersebut dan orang yang menimbulkan kerugian itu. Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
“setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.”
Kesepakatan yang dibuat secara semu atau tidak murni harus dianggap batal secara yuridis. Pasal 1321 KUHPerdata menentukan persetujuan, yang bersifat semu atau tidak murni ialah persetujuan yang dibuat karena adanya kesilapan (dwaling, mistake), adanya paksaan (dwang, duress), dan adanya penipuan (bedrog, misrepresentation).


B.     ASPEK PRODUCT LIABILITY
Ø  Pengertian Product Liability
Istilah dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan lingkup yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di bawah ini.
NE Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.
Agnes m Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Endang Saefullah memperluas cakupan dari yang disebut dengan pengertiannya sebagai berikut:
“product liability adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.”
Menurut Johannes Gunawan tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product liabilityadalah:

a.       Memberikan perlindungan kepada konsumen
b.      Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen.
Ø  Dari Kewajiban kepada Tanggungjawab
a.       Kewajiban karena UU
Berbicara tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlabih dahulu harus dibicarakan mengenai kewajibannya. Dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan hukum.
Dalam kaitan UUPK, produsen berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas produksinya (Pasal 7 butir a UUPK). Rumusnya mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Dari sudut hukum perikatan, terdapat suatu unsur kewajiban yang harus dipenuhi untuk melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata menetukan, tiap-tiap perikatan bertujuan:
1.      Memberikan sesuatu,
2.      Berbuat sesuatu,
3.      Tidak bernuat sesuatu.
Prestasi dalam tiga bentuk di atas, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan penyandang perjanjian. Kewajiban melaksanakan macam-macam prestasi di atas, tidak hanya karena adanya perikatan bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Lebih dari itu, perikatan juga lahir dari undang-undang atau hukum (Pasal 1233 KUHPerdata). Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi/ganti rugi kepada pihak yang melakukan perbuatan itu. Kompensasi tersebut, menurut pasal 19 ayat 2 meliputi:
-          Pengembalian sejumlah uang,
-          Penggantian barang atau jasa yang sejenis atau yang setara,
-          Perawatan kesehatan,
-          Pemberina santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
b.      Kewajiban Produk
Merujuk UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun antara pelaku dan korban tidak terdapat perserujuan terlebih dahulu.
Penjual berkewajiban menenggung penderitaan korban berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Kewajiban lebih merupakan rumusan abstarak yang melahirkan tanggung jawab sementara tanggung jawab merupakan sikap konkret. Harus diingat pula, tidak selamanya rumusan tentang kewajiban dan tanggung jawab secara eksplisit menggunakan kata kewajiban ataupun tanggung jawab.
Ø  Kewajiban mengenai Persyaratan Produk
Dalam UUPK aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan hak produsen selaku pelaku usaha dirumuskan dalam Bab III, butir-butir kewajiban pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 7 di atas mengatur kewajiban produk dari pelaku usaha. Sebelum UUPK berlaku, sudah dibuat beberapa ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha untuk mentaati persyaratan atas produk-produk (barang dan jasa) yang dibuatnya. Hal itu bisa kita lihat dalam UU No 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan atau dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.


C.     ASPEK HUKUM PUBLIK
Dengan hukum public dimaksudkan hukum yang mengatur gubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan Negara dengan perorangan. Termasuk hukum public dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan/atau acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.
1.      Hukum Pidana
Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kriminalisasi di bidang konsumen sebelum berlakunya UUPK No 8 Tahun 1999 sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, kitab undang-undang itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan politik, adopsi undang-undang ang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak mencapai tujuannya.
Hukum pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum adminitrasi Negara, hukum acara, dan hukum internasional. di antara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi Negara.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut kata “konsumen”. Secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain:
1.      Pasal 204: Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
2.      Pasal 205: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita.
3.      Pasal 382: Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.
4.      Pasal 359: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidan penjara paling lama tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN 1906 No. 1).
5.      Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.

Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini dalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang berlaku sejak 4 November 1996. Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights), seperti hak cipta, paten, dan hak atas merek, dewasa ini  diberi perhatian yang cukup besar, khusunya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidan berupa pembajakan hak cipta, misalnya sekarng diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
Kecenderungan seperti yang terjadi dalam hukum bidang hak atas kekayaan intelektual ini seharusnya mulai diantisipasi. Seandainya tidak tertampung dalam undang-undang yang bersifat khusus dan sektoral seperti di atas, dapat diakamodasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menurut rencana akan segera diperbarui.
2.      Hukum Administrasi Negara
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi adalah instrument publik yang paling penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative. Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Pemerintah RI kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebihn banyak korban. Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya di sini terutama berkenaan dengan kesehatan dan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan, peraturan-peraturan tentang produk makanan, obat-obatan, dan zat-zat kimia, diawasi secara ketat. Syarat-syarat pendirian perusahaan yang bergerak di bidang tersebut dan pengawasan terhadap proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Sanksi administratif ini seringkali efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alas an yang mendukung pernyataan ini:
1.      Sanksi administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak sebagai pihak member izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait.
2.      Sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Walaupun secara teoretis instrument hukum administarsi Negara ini cukup efektif, tetap ada kendala penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih teramat jarang dilakukan. Ketentuan hukum administrasi, misalnya menetukan bahwa: Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No, 23 Tahun 1992, Pasal 72 ditentukan:
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.
Dari perundang-undangan di atas terlihat beberapa department dan/atau lembaga pemerintah tertentu yang menjalankan tindakan administrative berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tersebut.
3.      Hukum Transnasional
Sebutan “hukum transnasional” mempunyai dua kontasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim disebut hukum perdata internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi publik, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum internasional (publik) sering dinilai sebagai intrumen yang “mandul” dalam menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas” yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.
Salah satu resolusi yang pernah dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah tentang Perlindungan Konsumen Terakhir, masalah ini dimuat dalam Resolusi No. 39/248 tahun 1985. Di dalamGuidelines for Consumer Pontection (Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum) dinyatakn hal-hal apa saja yang dimaksud dengan kepentingan konsumen itu:
1.      Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
2.      Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen.
3.      Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebetuhan pribadi.
4.      Pendidikan konsumen
5.      Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif
6.      Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Organisasi yang membawa misi perlindungan hak-hak konsumen secara bijak menyadari betapa kondisi suatu Negara tidak selalu mampu menampung kepentingan konsumen itu ke dalam perangkat hukum positifnya. Kendati demikian, jika prinsip-prinsip umum Resolusi No. 39/248 Tahun 1985 itu di hormati, paling tidak hak-hak konsumen di Negara yang bersangkutan akan memperoleh pehatian secara memadai.

















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
A.    Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam:
1.      KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2.      KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua,
3.      Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
a.       Hal-Hal yang Berkaitan dengan Informasi
b.      Beberapa Bentuk Informasi
B.     Istilah dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan lingkup yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di bawah ini.
NE Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.
Agnes m Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Endang Saefullah memperluas cakupan dari yang disebut dengan pengertiannya sebagai berikut:
“product liability adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.”
C.     Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur gubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan Negara dengan perorangan. Termasuk hukum public dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan/atau acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.
2.      Saran
A.    Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, walaupun telah mengalami kemajuan, terutama setelah lahirnya UUPK, namun masih perlu adanya langkah peningkatan, terutama aspek-aspek yang diatur secara tegas dalam UUPK, sehingga akan semakin mendekati berbagai perinsip yang memberikan perlindungan konsumen di Negara maju.
B.     Demikian pula kekurangan-kekurangan dalam UUPK agar segera direvisi, dengan tetap mengacu pada tiga prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, serta melengkapi peraturan-peraturan pelaksanaan dari UUPK, agar konsumen betul-betul dapat menikmati perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
C.     Untuk menghindari adanya tuntutan dari Negara anggota WTO lainnya, maka perlu untuk menyesuaikan ketentuan perundang-undangan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam WTO, tidak hanya mengubah peraturan perundang-undangan yang ada.











DAFTAR PUSTAKA
Kristiyanti, Cellina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 2009
Miru, Ahmadi. Prinsip-prinsip Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2011
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Panta Rei, Jakarta. 2005
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


0 komentar

Posting Komentar