Pages

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured 1

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Jumat, 29 November 2013

SEJARAH RINGKAS, RUANG LINGKUP, DAN METODE PSIKOLOGI PENDIDIKAN

1.      Sejarah Ringkas
Seperti telah diketahui sebelumnya, psikologi pendidikan adalah cabang psikologi. Karena psikolgi sebagai ilmu pengetahuan masih muda usianya, maka psikologi pendidikan sebagai cabangnya lebih-lebih masih muda usianya. Berhubung dengan itu, ia masih dalam proses perkembangan; di sana sini masih banyak problem yang masih memerlukan pemecahannya; masih banyak hal-hal yang masih perlu pengembangannya. Akan tetapi, walaupun ditinjau dari segi ilmu pengetahuan usianya masih sangat muda, akan tetapi pemikirannya (dalam arti yang menyangkut pendidikan dan problem jiwa) telah dipikirkan oleh orang sejak dahulu kala. Demikianlah misalnya, sampai ada yang mengatakan bahwa saat timbulnya yang mula-mula tentang psikologi pendidikan dapat diikuti jejaknya kembali pada Aristoteles. Bahwa Aristoteles sebagai seorang filsuf telah menyusun periode-periode perkembangan anak, sifat-sifat anak menurut periode dan bentuk pendidikan yang perlu diselenggarakan sesuai dengan periode-periode itu. Walaupun demikian, tentu saja pemikirannya baru merupakan pemikiran secar filsafat, belum merupakan pemikiran psikologi pendidikan.
Upaya-upaya yang bersifat semi ilmiah dipelopori oleh para pendidik, seperti Pestalozzi, Herbart, Frobel dan sebagainya. Mereka itu sering dikatakan sebagai pendidik yang mempsikologikan pendidikan, yaitu dalam wujud upaya memperbaharui pendidikan dengan melalui bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat usia, metode yang sesuai dengan bahan yang diajarkan dan sebagainya, dengan mempertimbangkan tingkat-tingkat usia dan kemampuan anak didik. Pestalozzi misalnya, dengan upayanya itu kemudian sampai pula pada pola tujuan pendidikannya, yang disusun dengan “bahasa” psikologi pendidikan; dikatakan olehnya bahwa tujuan pendidikan adalah tercapainya perkembangan anak yang serasi mengenai tenaga dan daya-daya jiwa. Adapun Frobel Menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kepribadian melalui perkembangan sendiri, akativitas dan kerja sama social dengan semboyan “belajar sambil bekerja”. Herbart bahkan telah menyusun pola rangkaian cara menyampaikan bahan pelajaran, berturut-turut: persiapan, penyajian, asosiasi, generalisasi dan aplikasi. Tentu saja sifat dan luasnya usaha yang mereka hasilkan dan sumbangkan sesuai dengan zamannya, yaitu bahwa psikologi sebenarnya pada zaman itu belum berdiri sebagai ilmu pengetahuan yang otonom.
Akhir abad 19 penelitian-penelitian dalam lapangan psikologi pendidikan secara ilmiah sudah semakin maju. Di Eropa Ebbinghaus mempelajari aspek daya ingatan dalam hubungannya dengan proses pendidikan. Dengan penelitiannya itu misalnya terkenallah Kurve Daya Ingatan, yang menggambarkan, bahwa kemampuan mengingat mengenai sejumlah objek kesan-kesannya semakin lama semakin berkurang (menurun), akan tetapi tidaklah hilang sama sekali.
Pada awal abad 20 pemerintah Prancis merasa perlu untuk mengetahui prestasi belajar para pelajar, yang dirasa semakin menurun. Pertanyaannya yang ingin dijawap, apakah prestasi belajar itu semata-mata hanya tergantung pada soal rajin dan malasnya si pelajar, ataukah ada factor kejiwaan atau mental yang ikut memegang peranan. Maka untuk memecahkan problem itu ditunjuklah seorang ahli psikologi yang bernama Alfred Binet, Dengan bantuan Theodore Simon, mereka menyusun sejumlah tugas yang terbentuk dalam sebuah tes baku untuk mengetahui inteligensi para pelajar. Tes ini kemudian dikenal dengan tes Inteligensi. Tes inteligensi Binet-Simon ini sangat terkenal, yang kemudian banyak dipakai di Amerika Serikat, yang di negri itu mengalami revisi berkali-kali untuk mendapat tingkat kesesuaiannya dengan masyarakat atau orang-orang Amerika. Di antara para ahli yang mengambil bagian dalam revisi-revisi itu misalnya : Stern, Terman, Merril dan sebaagainya.
Perlu juga diketahui, bahwa laboratorium ciptaan Wundt di Leipzig juga tidak hanya melakukan aktivitas penelitian yang bersifat “psikologi umum”, melainkan juga memegang peranan dalam psikologi pendidikan. Banyak orang Amerika yang belajar di Leipzig kepada Wundt. Akibatnya setelah mereka mengembangkan psikologi itu di negaranya, termasuk psikologi pendidikan. Terkenallah psikologi pendidikan di Amerika misalnya Charles H. Judd, E.L. Thorndike, B.F. Skinner dan sebagainya. Orang-orang ini sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan di Amerika Serikat. Terutama E.L. Thorndike, sehingga ia dipandang sebagai Bapak Psikologi Pendidikan di Amerika Serikat. Menurut seorang pakar psikiatri dan psikologi Amerika Serikat yang bernama Perry London, yang telah meneliti tentang penggunaan jasa psikologi di Amerika Serikat, yang menggunakan jasa psikologi bagi lapangan-lapangan tertentu adalah : 25% merupakan para pendidik, 25% ahli psikologi klinis dan konsultan, 16% merupakan para peneliti psikologi sendiri, sedang yang 34% tersebar pada lapangan atau pakar yang lain.
Di Indonesia psikologi pada umumnya dan psikologi pendidikan pada khususnya sedang dalam proses perkembangan yang cepat. Pada mata pelajaran, misalnya di sekolah calon guru (HK, HIK, Hoofd Acted an sebagainya). Setelah merdeka dan dengan berdirinya Fakultas Psikologi di beberapa Universitas serta berdirinya FKIP atau IKIP di berbagai kota, maka psikologi pada umumnya atau psikologi pendidikan khususnya, tidak hanya dipelajari sebagai mata kuliah, melainkan juga diteliti sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini memang amat perlu, karena psikologi atau psikologi pendidikan yang didasarkan penelitiannya pada orang-orang barat belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
2.      Lingkup Psikologi Pendidikan
Jika kita bertanya mengenai lingkup (scope) psikologi pendidikan, maksudnya bertanya tentang apa saja yang dibicarakn oleh psikologi pendidikan, maka berdasarkan berbagai buku psikologi pendidikan akan diperoleh jawaban yang berbeda-beda. Sebagian buku menunjukan lingkup yang luas, sedangkan buku-buku yang lain menunjukkan ingkup yang lebih sempit atau terbatas. Buku yang lingkupnya lebih luas biasanya membahas selain proses belajar juga membahas tentang perkembangan, hereditas dan lingkungan, kesehatan mental, evaluasi belajar dan sebagainya. Sedangkan buku yang lingkupnya lebih sempit biasanya berkisar pada soal proses belajar mengajar saja. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh maksud penulis dalam menulis buku itu. Ada yang bermaksud hanya memberikan pengantar saja, sehingga pembahasanya mengenai lingkup itu cukup luas, akan tetapi kurang mendalam. Sebaliknya ada yang lingkup pembahasannya tidak luas, yaitu berkisar pada proses beljar, akan tetapi pembahasannya cukup mendalam. Jadi, beleh dikatakan bahwa tidak ada dua buku psikologi pendidikan yang menunjukkan ruang lingkup materi yang sama benar. Walaupun demikian, pada dasarnya psikologi pendidikan membahas hal-hal sebagai berikut
a.       Hereditas dan Lingkungan
b.      Pertumbuhan dan Perkembangan
c.       Potensial dan Karakteristik Tingkah laku
d.      Hasil Proses Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Individu yang Bersifat Personal dan Sosial
e.       Higiene Mental dan Pendidikan dan
f.       Evaluasi Hasil Pendidikan
Disamping itu perlu diketahui bahwa banyak buku psikologi pendidikan yang tidak member judul buku dengan kata-kata psikologi pendidikan, padahal buku itu benar-benar buku psikologi pendidikan, dalam arti buku itu membahas serta mendalami pokok-pokok bahasan tertentu dari psikologi pendidikan. Maka untuk mendalami psikologi pendidikan tidak senantisa harus mempelajari buku yang berjudul psikologi pendidikan.
3.      Metode-Metode Psikologi Pendidikan
Metode merupakan cara yang digunakan atau jalan yang ditempuh menuju ketujuan tertentu. Maka metode psikologi pendidikan adalah cara yang digunakan atau jalan yang ditempuh untuk sampai pada tujuan psikologi pendidikan, yaitu mendapatkan asas-asas, pokok-pokok, atau prinsip-prinsip tentang tingkah laku anak didik dalam situasi pendidikan dan yang dapat membantu pendidikan. Dalam hal-hal tertentu dan dalam batas-batas tertentu, metode ini juga dapat dipergunakan oleh para pendidik atau para guru dalam memahami dan memecahkan problem-problem pendidikan.
Pada dasarnya metode itu meliputi usaha pengumpulan data, pengolahan dana penyimpulannya. Berikut ini dibahas beberapa metode yang lazim dipergunakan dalam psikologi pendidikan, dengan titik berat pada metode pengumpulan data.
a.       Metode Observasi
Metode observasi adalah metode yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku anak didik dalam situasi yang wajar, dilaksanakan dengan berencana, kontinyu dan sistematik, serta diikuti dengan upaya mencatat atau merekam secara lengkap. Dengan sifat wajar, berarti bahwa anak didik itu dalam keadaan tidak dibuat-buat dan tidak mengetahui anak didik itu sedang di observasi. Berencana berarti bahwa sebelum observasi dilaksanakan harus ada persiapan yang matang tentang aspek-aspek tingkah laku yang akan di observasi. Dengan kontinyu berarti bahwa dalam melaksanakan observasi harus bersambungan antara periode yang satu dengan periode yang lain. Dengan sistematik berarti bahwa aspek-aspek yang di observasi itu harus tersusun secar teratur, sehingga tidak sekedar tumpukan catatan tentang tingkah laku. Dengan upaya mencatat atau merekam tentu dengan mudah kita fahami karena jika hanya mengamati tanpa mencatat atau merekam, maka hasilnya mudah dilupakan. Dewasa ini dengan kemajuan teknologi, observasi itu semakin maju.
b.      Metode Experimen dan Tes
Dengan metode experiment dengan sengaja diciptakan situasi buatan. Dalam pendidikan, dan pada situasi itu ditempatkan subjek penelitian tertentu. Kepada subjek di sampaikan perangsang=perangsang tentu untuk mendapatkan reaksi atau response tertentu. Kemudian response itu di analisis untuk mendapatkan kesimpulan tertentu. Pada lazimnya digunakan dua kemlompok subjek, yaitu kelompok experien dan kelompok control. Mirip metode experiment adalah metode tes. Metode test dilakukan dengan memberikan tugas yang dilakukan oleh subjek, baik tugas tertulis maupun tugas lisan. Perbedaannya dengan experiment,

Perbedaan metode experiment dengan metode test
Metode experiment
Metode test
Experiment akan memperoleh prinsip umum yang berkenan dengan seluruh subjek, atau akan diperoleh suau genelralisasi
Tes akan memperoleh perbedaan sifat=sifat individual setiap subjek,
Pada experiment dapat digunakan tes sebagai alat,
pada tes digunakan item-item atau pola untuk dilakukan oleh para subjek, tidak mungkin test menggunakan experiment.


Ada beberapa macam test misalnya test intelegensi, test sikap, test situasi, test kecepatan reaksi, dan test hasil belajar dan sebagainya.
c.       Metode Kuesioner dan Interview
Kuesioner sering disebut juga angket (Prancis : enquete). Berupa daftar yang memuat sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada subjek untuk dikerjakan (dijawab). Jawaban-jawaban itu kemudian dianalisis dan disimpulkan. Pada umumnya jawaban itu sudah tersedia, sehingga subjek tinggal memilih jawaban yang tepat untuk setiap item. Ditinjau dari segi penjawab, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu langsung (direct) dan tak langsung (indirect). Disebut langsung jika yang harus menjawab adalah subjek itu sendiri, dan disebut tak langsung jika yang menjawab harus menjawab adalah orang yang mengetahui hal-ikhwalnya subjek itu.


d.      Metode Ilmiah
Merupakan prosedur yang sistematik dalam memecahkan permasalahan dan merupakan suatu pendekatan objektif yang terbuka untuk dikritik, dikonfirmasikan, dimodifikasi atau bahkan mungkin ditolak kebenarannya oleh penelitian berikutnya. Digunakan untuk menyelesaikan permasalahan perilaku yang lebih kompleks yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
e.       Metode Diferensial
Digunakan untuk meneliti perbedaan-perbedaan individual yang terdapat di antara anak didik. Menggunakan berbagai macam teknik pengukuran (contoh: tes, angket, dsb) serta menggunakan statistik untuk menganalisis.
f.       Metode Klinis
Digunakan untuk mengumpulkan data secara lebih rinci mengenai perilaku penyesuaian dan kasus-kasus perilaku menyimpang.
Kesimpulan
Psikologi Pendidikan adalah bagian dari psikologi umum pada mulanya, psikologi pendidikan, dikenalkan oleh Aristoteles secara filsafat. Namun demikian, pemikiran Aristoteles tersebut belum bisa dikatakan sebagai psikologi pendidikan.
Kemudian, upaya-upaya bersifat semi ilmiah pun muncul, diantaranya dipelopori oleh para pendidik, seperti Pestalozzi, Herbar dan Frobel. Lalu pada akhir abad 19, penelitian psikologi pendidikan semakin maju, seperti di Eropa, Ebbinghaus, yang mempelajari aspek daya ingatan dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Selanjutnya , pada awal abad 20, mulailah bermunculan tokoh-tokoh psikologi pendidikan, seperti di Prancis, ada Alfred Binct, Theodore Simon, dan juga di Amerika Serikat, ada Charles H. Judd, E. L. Thorndike dan B. F. Skinner.

Dan ruang lingkup psikologi pendidikan itu sendiri adalah
1.      Hereditas dan Lingkungan.
2.      Pertumbuhan dan Perkembangan.
3.      Potensialitas dan Karakteristik tingkah laku.
4.      Hasil Proses Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap individu yang bersifat personal dan social.
5.      Higiene mental dan Pendidikan
6.      Evaluasi hasil Pendidikan.
Kemudian dari pada itu, terdapat pula metode-metode dalam psikologi pendidikan yang fungsinya adalah sebagi cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan dari Psikologi Pendidikan. Metode-metode tersebut adalah
1.      Metode Observasi
2.      Metode Experimen dan Test]
3.      Metode Kuesioner dan Interview
4.      Metode Ilmiah
5.      Metode Diferensial
6.      Metode Klinis

Rujukan
Drs. Ahmad thontowi. 1991. Psikologi Pendidikan. Angkasa. Bandung.
Drs. Abu Ahmadi, Widodo Supriyono. 1991. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
www.goarticle.com

METODE PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan kenyaataan bahwa psikologi klinis adalah sains dan juga terapan (science-practitioner), maka peneliti dlam psikologi klinis sangat perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan kebenaran suatu teori dalam praktiknya. Misalnya,  teori  sasaran perkembangan Erikson, oudipus complex (treatment), kebenaran tes-tes kepribadian dan proyeksi dalam mendeteksi gejala-gejala gangguan. Sebagai konsekuensi dari hali ini adalah bahwa pendapat-pendapat yang spekulatif harus dihilangkan atau diubah. Tujuan lain psikologi klinis adalah untuk lebih memahami keunikan perilaku, perasaan dan pikiran individu klien, bukan untuk mengadakan generalisasi.
Metode penelitian psikologi klinis pada dasarnya sama dengan metode penelitian pada umumnya, namun tujuan dan penekanannya adalaha untuk keperluan populasi khusus, misalnya mengetahui efektivitas suatu perlakuan pada kelompok tertentu, menentukan tes yang dapat meramalkan kerentanan seseorang terhadap serangan stroke, dan lain-lain.
Metode penelitian yang digunakan dalam psikologi klinis ini adalah : metode observasi, penelitian epidemiologi, metode korelasi, penelitian longitudinal, metode eksperimen dan desain satu kasus.
B.  Rumusan masalah
C.  Tujuan
Adapun pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja metode penelitian yang digunakan dalam psikologi klinis dan bagaimana metode penelitian dalam psikologi klinis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Metode Penelitian dalam Psikologi Klinis
Menurut James Drawer dalam kamus “The Penguin Dictionary of Psychology”, istilah “clinic” dapat diartikan sebagai tempat diagnosa dan pengobatan berbagai gangguan, fisik, perkembangan atau kelakuan. Dengan demikian metode penelitian psikologi klinis ialah jenis metode dalam psikologi yang berusaha menyelidiki sejumlah individu yang memiliki kelainan-kelainan secara teliti dan intensif serta dalam batas waktu yang lama. (Shalahuddin,1990:25)[1]
B.  Metode Penelitian dalam Psikologi Klinis
1.    Metode observasi
Penelitian yang dilakukan secara langsung kelapangan. Ada beberapa jenis observasi, yakni observasi tak sistematik, observasi alami, observasi terkendali, dan observasi pada studi kasus.
Ø Observasi tak sistematik yaitu observasi yang dilakukan secara tidak berurutan atau beraturan.[2]
Ø Observasi alamiah atau naturalistik yaitu observasi yang dilakukan dalam setting alamiah. Dalam hal ini peneliti berada di luar objek yang diteliti atau ia tidak menampakkan diri sebagai orang yng melakukan penelitian.[3]
Ø Observasi terkendali (controlled), jenis observasi ini dilakukan untuk memperbaiki observasi alami yang kurang sistematik dengan memberikan stimulus kepada orang yang akan diamati dalam setting alamiah, untuk mengetahu sejauh mana stimulus itu berpengaruh dalam perilaku.
Ø Studi kasus, adalah suatu penelitian intensif terhadap satu subjek, yang bertujuan memberikan deskripsi yang mendetail tentang subjek yang diteliti itu. Peneliti melakukan wawancara, observasi atu dipelajari biografinya. Yang dilakukan oleh Freud bersama dengan Breuner dan ditulis dalam buku “Case Studies in Hysteria” merupakan contoh studi kasus, yakni dari pasien-pasien dengan nama Dora, Anna O, Little Hans, dan seterusnya. Studi kasus bertujuan mengungkapkan keunikan yang terdapat pada kasus, dan dapat mengarahkan pada suatu pembentukan hipotesis baru apabila temuan memang sangat unik. Selain daripada itu, menurut Lazarus dan Davidson, 1971 (dalam phares, 1992) studi kasus sangat bermanfaat untuk memberi deskripsi atas fenomena baru atau yang jarang terjadi. Studi kasus juga dapat meniadakan informasi yang sebelumnya dianggap universal.
2.    Metode penelitian epidemiologis
Metode ini mempelajari kejadian (incidence), prevalensi, dan distribusi penyakit atau gangguan dalam suatu populasi. Metode ini biasa dilakukan dalam bidang kedokteran untuk mengetahui penyebaran penyakit menular dan penyakit-penyakit yang terkait dengan kondisi daerah tertentu di Indonesia.
Kebanyakan dari penelitian epidemiologis ini didasarkan atas hasil survei berdasarkan kuesioner yang disebarkan disuatu daerah tertentu, dengan harapan bahwa subjek yang mengisi kuesioner akan melaporkan yang sebenarnya. Namun dalam penelitian dengan kuesioner semacam ini kadangkala terjadi bahwa subjek tidak menyatakan yang sebenarny, dan menjawab seperti yang dikehendaki oleh peneliti.
3.    Metode korelasi
Metode korelasi memungkinkan peneliti untuk menentukan apakah suatu variabel tertentu, misalnya penyakit influenza, berkaitan dengan variabel lain, misalnya cuaca disuatu daerah. Contoh lain: apakah ada hubungan antara skor tes intelegensi dengan jenis gangguan psikiatrik tertentu, apakah ada hubungan antara suatu jenis terapi dengan tingkatan kesembuhan, apakah ada hubungan antara seks dengan gangguan depresi, dan sebagainya.
Teknik korelasi memerlukan dua set data (dari observasi,skor tes dan lain-lain) untuk dicarikan apakah data set pertama berhubungan dengan data set lainnya, yang kemudian menghasilkan suatu koefesien korelasi yang berkisar antara -1 (korelasi negatif) dan +1 (korelasi positif). Koefesien dapat bermakna (signifikan) pada tingkatan 0,05 (berarti berlaku pada 95 persen pengamatan) atau pada tingkatan 0,01 (berlaku pada 99 persen pengamatan).
Bermakna atau tidaknya suatu korelasi bergantung pada jumlah sampel yang diteliti. Untuk penelitian bidang klinis kadang-kadangsuatu koefesiens korelasi yang secara statistik bermakna, tidak mempunyai makna praktis, tidak menunjukkan korelasi yang bermakna secara statistik. Misalnya meskipun secara statistik hubungan antara penderita gangguan depresi dengan kejadian stres tidak bermakna secara statistik, dalam pengalaman praktik psikologi klinis, hubungan antara kedua hal tersebut patut selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, temuan seperti adanyahubungan yang bermakna antaraskor TPA (Tes Potensi Akademik) dengan penilaian akademik di universitas pada populasi mahasiswa yang mengikuti UMPTN, hubungan ini tidak begitu penting untuk praktik psikologi klinis.
Hasil perhitungan korelasi sering kali dianggap sebagai bukti bahwa satu variabel merupakan penyebab dari variabel lainnya. Misalnya jika ada korelasi positif antara banyaknya anak yang menderita gangguan retardasi mental dengan banyaknya ibu yang pendidikannya rendah, maka ada kecenderungan untuk menganggap bahwa ibu yang pendidikannya rendah menyebabkan anak-anak yang kecerdasannya rendah. Penyimpulan seperti ini tidak benar karena angka korelasi hanya menunjukkan adanya hubungan, tapi hubungan itu bukan hubungan kausal. Untuk menentukan ada tidaknya suatu hubungan kausal antara dua variabel perlu dilakukan penelitian eksperimental.
Metode korelasi dapat berlanjut dengan mengadakan matriks korelasi yang menggambarkan korelasi antara sejumlah banyak variabel, dan identifikasi adanya faktor-faktor yang jumlahnya lebih sedikit dari variabel-variabel tadi. Identifikasi faktor-faktor ini dinamakan analisis faktor, misalnya bila dilakukan antarkorelasi antara sejumlah variabel seperti umur, pendidikan , lingkungan sosial, berat badan, keluhan fisik, keluhan psikis. Bisa jadi variabel pendididkan, lingkungan sosial, merupakan satu faktor, artinya, keduanya saling berkorelasi tinggi.[4]
4.    Penelitian Longitudinal Versus Cross-Sectional
Dua pendekatan dalam penelitian ini sering kali dilakukan terhadap populasi lanjut usia, atau anak-anak dengan kelainan khusus. Penelitian longitudinalialah Penelitian ini dilakukan secara terus menerus dalam janga waktu tertentu pada subjek yang sama.Desain penelitian cross sectional adalah Penelitian ini dilakukan dengan cara memakai sampel-sampel yang mengawakili usia anak yang ingin diteliti[5]
5.    Metode penelitian eksperimental
Istilah eksperimen (percobaan) dalam psikologi, dapat diartikan sebagai suatu pengamatan secara teliti terhadap gejala-gejala jiwa yang kita timbulkan dengan sengaja. Hal ini dimaksudkan untuk menguji hipotesa pembuat eksperimen tentang reaksi-reaksi individu atau kelompok dalam situasi tertentu atau di bawah kondisi tertentu. Jadi, tujuan metode eksperimen adalah untuk mengetahui sifat-sifat umum dalam gejala kejiwaan. Misalnya mengenai pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan lain sebagainya. (Shalahuddin,1990:23)[6]
Untuk memastikan adanya suatu hubungan sebab akibat antara dua peristiwa, perlu dilakukan metode eksperimen. Misalnya bila peneliti ingin memperkenalkan pengaruh musik pada emosi gembira pada sejumlah penghuni panti werdha. Untuk menguji dugaan tersebut perlu dilakukan metode eksperimen. Peneliti memilih dahulu penghuni di wisma yang akan menjadi kelompok eksperimental yakni yang akan diberi stimulus musik dangdut pada waktu tertentu misalnya jam 5 sore. Kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol yakni mereka yang ada di wisma lain, yang tidak diberi musik. Atas dua kelompok ini dicatat observasi perilaku penghuni yang dapat menggambarkan emosi gembira misalnya: ekspresi wajah, gerakan, kata-kata yang diucapkan. Observasi akan lebih objektif bila dilakukan pemotretan dengan kamera video.
Setelah ada observasi awal, yang dinamakan data dasar (baselin data), baru diberikan stimulus pada kelompok eksperimental. Observasi dilakukan sekali lagi terhadap kedua kelompok itu pada saat yang sama, untuk kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Bila pada kelompok eksperimen terjadi peningkatan perilaku gembira, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat peningkatan, maka dapat dikatakan bahwa stimulus musik itu yang menyebabkan peningkatan perilaku itu. Dalam contoh ini perilaku gembira dinamakan variabel bebas.
Desain antarkelompok ialah bila dua kelompok yang dibandingkan, menerima stimulus yang berbeda, yang dibandingkan akibatnya. Misalnya kelompok A menjalani psikoterapi jenis konseling nondirektif, dan kelompok B menjalani psikoterapi jenis konseling direktif. Kemudian dibandingkan yang mana yang lebih efektif. Desain dalam kelompok ialah bila satu individu dalam kelompok terapi konseling direktif, dibandingkan kemajuannya dalam beberapa priode, misalnya setelah satu bulan, setelah dua bulan, dan seterusnya.
Dalam penelitian eksperimental ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni masalah validitas internal dan eksternal. Validitas internal adalah adanya jaminan bahwa yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang direncanakan oleh eksperimen itu adalah hanya stimulus yang diberikan dan bukan hal-hal lainnya. Jadi agar validitas internal baik, haruslah ada kelompok kontrol.skadang-kadang validitas internal penelitian eksperimental kurang baik, karena perubaahan yang dihasilkan oleh eksperimen lebih disebabkan oleh karena adanya harapan dari peneliti maupun harapan dari subjek yang diteliti. Untuk mencegah hal itu ada baiknya dilakukan penelitian secara double blind, artinya baik peneliti maupun subjek yang diteliti sama-sama tidak tahu siapa yang menjadi kelompok eksperimen dan siapa yang menjadi kelompok kontrol, juga kelompok mana yang mendapat perlakuan dan mana yang tidak.
6.    Desain satu kasus
Desain satu kasus mempunyai satu persamaan dengan desain studi kasus dan desain eksperimental. Dalam desain satu kasus, diukur perilaku individu sebelum dan sesudah perlakuan, dan hal ini dilakukan dalam situasi eksperimen. Desaion satu kasus adalah perwujudan dari pendekatan perilaku, yang mengutamakan spengukuran perilaku nyata.
Salah satu contoh desain satu kasus yang dapat direncanakan ialah perlakuan misalnyaterhadap seseorang anak dengan perilaku agresif. Diruang terapi, anak diamati salama beberapa jam/selama beberapa hari, dicatat perilaku agresif apa saja yang ia tampilkan, dan dicatat frekuensinya (situasi A). kemudian diberikan perlakuan, yakni apablia anak memperlihatkan perilaku baik, maka ia diberi imbalan. Perlakuan ini dipertahankan selama beberapa jam/beberapa hari, dan dicatat lagi perilaku anak yang positif, yakni duduk diam (B). Setelah itu, kembali lagi anak dibiarkan seperti situasi A, yakni tidak diberikan perlakuan. Setelah itu kembali diberlakukan situasi B.
Desain Multiple Baseline
Kadangkala situasi pemberian imbalan seperti yang terjadi pada situasi B tidak mudah untuk ditiadakan demi pertimbangan etis. Dalam desain ganda dilakukan hal yang sama dengan kasus anak perilaku agresif, namun desain ABAB itu diberlakukan dalam dua situasi, yakni di rumah dan di ruang terapi. Yang diamati dan dicatat base-line nya adalah dalam dua situasi, yakni situasi di ruang terapi dan situasi di rumah. Dalam situasi terapi tidak perlu diadakan peniadaan imbalan. Penghentian imbalan dilakukan hanya dalam situasi di rumah. Apabila peningkatan perilaku positif selalu terjadi menyusul perlakuan (pemberian hadiah). Maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan itulah yang menyebabkan bertambahnya perilaku positif dan berkurangnya perilaku agresif.
Desain campuran
Dalam desain ini teknik eksperimental dan teknik korelasi digabung. Sebagai contoh rancangan penelitian yang dikemukakan Davison & Neale pada tahun 1990 ialah penelitian mengenai efektivitas tiga jenis terapi pada penderita gangguan psikiatrik tertentu. Bila pasien untuk masing-masing jenis terapi tersebut. Dianggap sebagai masing-masing satu kelompok muka salah atu jenis terapi itu mungkin terlihat lebih berhasil. Namun bila pasien dalam tiga jenis  terapi itu dibedakan dalam kelompok dengan ganggauan parah dan gangguan ringan, maka kesimpulannya bisa berbeda untuk tiap kelompok itu. [7]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian psikologi klinis ialah jenis metode dalam psikologi yang berusaha menyelidiki sejumlah individu yang memiliki kelainan-kelainan secara teliti dan intensif serta dalam batas waktu yang lama.
Adapun metode-metode penelitian psikologi klinis yaitu:
Ø Metode observasi
Ø Metode penelitian epidemiologis
Ø Metode korelasi
Ø Penelitian longitudinal dan versus cross sectional
Ø Metode penelitian eksperimental
Ø Desain satu kasus

  
DAFTAR PUSTAKA
http://www.psychologymania.com/2012/06/metode-penelitian-psikologi-belajar.html
Suprarti Slamet I.S. & Sumarmo Markam. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: UI Press. 2003.


[2] Suprarti Slamet I.S. & Sumarmo Markam. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: UI Press. 2003. Hal 151
[3] http://www.psychologymania.com/2012/06/metode-penelitian-psikologi-belajar.html
[4] Ibid . Suprarti Slamet I.S. & Sumarmo Markam. Hal 153-155
[6] http://www.psychologymania.com/2012/06/metode-penelitian-psikologi-belajar.html
[7] Ibid. Suprarti Slamet I.S. & Sumarmo Markam.. hal 157-163

TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
B.  Rumusan Masalah
C.  Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan, khususnya bagi pemakalah sendiri dan umumnya bagi teman-teman semua, untuk mengetahui teori-teori tentang kejahatan dan faktor-faktor penyebab kejahatan.



BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA

Tujuan-tujuan pembentukan suatu teori kriminologi pada pokoknya adalah:
v Memberikan suatu kerangka konseptual untuk membantu pengamatan yang cermat serta deskripsimengenai kejahatandan reaksi sosialterhadap kejahatan.
v Merumuskan suatu sistem sistem postulat-postulat dasar yang dapat menjelaskan kejahatan serta reaksi sosial.
v Menegakkan suatu dasar pengetahuan dan metode agar dalam kondisi-kondisi tertentu memungkinkan pengendalian atas kejahatan srta reaksi sosial.
v Membentuk suatu konsepsi kerja peradiloan pidana.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial.
Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
Didalam kriminilogi terdapat sejumlah teori yang dapat dimasukkan kedalam kelompok teori yang menekankan peranan penting faktor-faktor sosio-kultural dalam membahas kejahatan dan perilaku menyimpang, antara lain teori kejahatan dan kondisi ekonomi, teori anomi, teori-teori sub kebudayaan, teori-teori konflik dan sebagainya. Beberapa teori penting yakni :
a)    Teori “differential opportunity structure”
Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni:
v  Delikuensi adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti: meraih kekayaan cara-cara yang tidak sah.
v   Sub kebudayaan delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang dikehendaki secara kultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah.
v   Jenis-jenis sub-kebudayaan delikuen berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai tujuan. Jenis-jenis sub kebudayaan itu ialah:
Ø Sub kebudayaan konflik yang terdapat dalam lingkungan sosial yang mengalami disorganisasi serta ketidakstabilan. Pada lingkungan ini juga terdapat kesulitan-kesulitan dalam mencapai integrasi sosial, oleh karena seringkali para warga masyarakat memecahkan masalah “frustasi status” melalui cara-cara kekerasan.
Ø Sub kebudayaan kriminal yang terdapat dalam lingkungan sosial dengan ciri sebagian besar warganya berpendapatan rendah dan angka laju tinggi.
Ø Sub kebudayaan pengunduran diri
b)   Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Berbagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam bagian-bagian yang terpisah: krisis-krisis yang parah termasuk yang disebabkan bencana alam, krisis gradual dan siklikal yang tercermindalam inflasi, resesi dan mis-employment, kekurangan bahan dan tekanan-tekanan ekonomi yang kronis.
Istilah krisis yang dimaksudkan adalah suatu konsep umum yang tidak hanya menyangkut disfungsi ekonomi dari suatu jenis resesi, terlepas dari apakah ada atau tidak inflasi yang memperburuk keadaan tetapi juga krisis-krisis tertentu dan krisis lokal yang mungkin terjadi akibat bencana alam, krisis yang disebabkan oleh ketidakmampuan suatu masyarakat dalam “take off” ke era industri dan krisis yang melekat pada salah urus dalam bidang politik ekonomi.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari diskusi-diskusi antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara positif, berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori kejahatan-kejahatan yang dilaporkan.
Kedua, melalui pengukuran indikator-indikator ekonomi pada tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian besar kategori kejahatan yang dilaporkan.
Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan angka laju kejahatan berbeda-bedab sesuai dengan jenisnya, masyarakat dan waktu.
Keempat, kejahatan-kejahatan” primer” yaitu kejahatan yang secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta harapan-harapan yang mengalami frustasi. Diantara kejahatan atau perilaku menyimpang lain yang meningkat adalah :
Ø Kejahatan-kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan penipuan konsumen.
Ø Pelanggaran norma non-kriminal.
Ø Pelanggaran-pelanggaran lain, seperti: alkoholisme.
Kelima, seringkali masalah yang paling serius dihadapi adalah gejala kejahatan “sekunder” yang terjadi apabila kejahatan “primer” yang berkaitan dengan krisis tidak terkendali atau diampuni (misalnya dalam hal penyalahgunaan hukuman) atau ditindak dan dihukum dengan kekerasan yang berlebihan. Dalam hal terakhir, karir penjahat individual lebih diperkuat dan kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan krisis semakin memperoleh dorongan.
Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasi beberapa pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejehatan, yakni:
Ø Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal.
Ø Terdapatnya bentuk-bentuk “innofasi” sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi “innovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum.
Ø Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah.
Ø Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku agresif.
Ø Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan ekonomi terhadap kemungkinan besar bagi berkembangnya sub kebudayaan delinkuen.
Ø Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilannya cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman-teman yang menjadi pengangguran pula dan dengan begitu lebih memungkinkan dirancang dan dilakukannya suatu kejahatan.   
c)    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi kritis”
William J. Chambliss secara khusus membahas tentang isi dan bekerjanya hukum pidana, konsekuensi kejahatan bagi masyarakat dan sebab musabab kejahatan.
Tentang latar belakang kejahataan, Chambliss mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi atas kondisi kehidupan klas seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat.
Masih dalam kerangka penjelasan bekerjanya faktor-faktor sosio-kultural, Richard Quinney mengetengahkan teori tentang realitas sosial kejahatan sebagai berikut:
Ø Kejahatan adalah suatu defenisi hukum yang diciptakan oleh alat-alat klas dominan didalam masyarakat yang secara politis terorganisasi.
Ø Definisi-defenisi kejahatan terdiri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan klas dominan.
Ø Defenisi-defenisi kejahatan diterapkan oleh klas yang mempunyai kekuasaan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana.
Ø Pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan rumusan-rumusan kejahatan dan dalam konteks ini orang terlibat dalam tindakan-tindakan yang relatif mempunyai kemungkinan untuk dirumuskan sebagai kejahatan.
Ø Idiologi tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan oleh klas dominan untuk memelihara hegemoninya.
Ø Realitas sosial kejahatan dibentuk oleh perumusan dan penerapan defenisi-defenisi kejahatan, perkembangan pola-pola perilaku dalam kaitannya dengan defenisi ini.
2.    Teori-Teori yang Membahas Faktor-Faktor Interaksi
a)    Teori “Transmissi kebudayaan”
Pada wilayah-wilayah berstatus ekonomi tinggi dengan angka laju delikuensi rendah, umumnya terdapat suatu persamaan dalam sikap para penghuninya terhadap nilai-nilai konvensional dan terutama sikap-sikap yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Hal ini tergambar dengan adanya kebulatan pendapat praktis mengenai kehendak akan pendidikan dan aktivitas-aktivitas pada waktu luang yang konstruktif serta tekanan terhadap anak untuk tetap melakukan aktivitas-aktivitas konvensional. Dalam daerah-daerah tersebut juga terdapat rintangan-rintangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap perilaku yang merugikan nilai-nilai konvensional.
Itu tidaklah berarti bahwa setiap kegiatan yang melibatkan anggota-anggota masyarakat adalah kegiatan yang tunduk kepada hukum. Tetapi karena setiap usaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum akan ditentang oleh dalam wilayah tersebut, anak-anak yang tinggal dalam masyarakat dengan angka rataa-rata kejahatan yang rendah, secara keseluruhan akan dihalangi oleh kontak langsung dengan bentuk-bentuk perilaku menyimpang.
Lebih jauh, pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh klas menengah dan wilayah-wilayah dengan status ekonomi tinggi, persamaan dalam sikap-sikap dan nilai-nilai dalam hal sosial kontroltercermin dalam pranata-pranata dan persekutuan-persekutuan sukarela yang bertujuan untuk mengekalkan dan melindungi nilai-nilai ini.
Kebalikannya, pada wilayah-wilayah dengan status ekonomi yang rendah yang berangka delikuensi tinggi ditandai dengan perbedaan yang luas dalam norma-norma dan standar-standar perilaku.
Dua sistem kegiatan ekonomi yang saling bertentangan memperlihatkan secara kasar kesempatan-kesempatan yang sama bagi para pekerja serta peningkatan taraf kehidupan. Bukti keberhasilan dalam dunia penjahat ditunjukkan oleh penampilan penjahat-penjahat dewasa yang pakaian dan kendaraannya memperlihatkan bahwa mereka makmur dalam bidang yang dipilihnya. Nilai-nilai yang salah dan resiko-resiko besar yang ditanggung tak jelas nampak bagi orang yang berusia muda.
b)   Teori “differential association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan serta motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat-postulat yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald Cressey dalam kerangka teori “differential association” ini adalah sebagai berikut:
Ø Kejahatan di pejajari, secara negatif ini berarti bahwa kejahatan tidak diwariskan.
Ø Kejahatan di pelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain melalui proses komunikasi.
Ø Proses belajar kejahatan meliputi:
·      Teknik-teknik untuk melakukan kejahatan yang kadangkala sangat rumit dan kadang-kadang sangat sederhana.
·      Arah, motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap.
Ø Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari defenisi-defenisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum.
Ø Seseorang menjadi delikuen oleh karena ia lebih mempunyai defenisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan dengan defenisi-defenisi yang tidak mendukung pelanggaran hukum.
Ø Pengelompokkan yang berbeda-beda mungkin beraneka raganm dalam frekuensi, lamanya, perioritas dan intensitasnya.
Ø Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan pola-pola kejahatan atau anti kejahatn menyangkut semua mekanisme terdapat dalam proses belajar apa pun.
Ø Walaupun kejahatan merupakan pencerminan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai tersebut, oleh karena perilaku yang bukan kejahatan pun merupakan pencerminan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang sama.
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-faktor interaksi, antara lain adalah teori Daniel Claser mengenai “differential identification and anticipation” yang pada pokoknya menekankan bahwa seseorang menjadi jahat tidak hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan penjahat-penjahat, meleinkan juga dengan mengacau pada eksistensi kriminal mereka.
3.    Teori-Teori tentang Faktor Pencetus
Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor pencetus disini dapat berupa peranan korban dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan maupun tekanan-tekanan situasional yang dialami pelaku kejahatan.
Menurut Shepard, dalam studi-studi tentang kejahatan kekerasan terungkap betapa korban sangat acap memainkan peranan kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan tak jarang memprovokasi orang lain atau mencetuskan saling balas dengan kekerasan yang pada akhirnya berakibat luka atau kematian.
Hubungan-hubungan sosial korban dalam kejahatan kekerasan, terutama dalam pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim precipitated kriminal homicide, menunjukkan korban merupakan bagian integral dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan dengan kekerasan.
Faktor lain adalah tekanan situasional yang dapat merupakan faktor pencetus berlangsungnya kejahatan, termasuk kedalamnya proses pengambilan resiko. Menurut Don C. Gibbons termasuk kelompok faktor-faktor pencetus ini adalah sikap-sikap dan motivasi-motivasi kriminal, dan pola-pola kepribadian lain.
4.    Teori-Teori tentang Faktor Reaksi Sosial
Kejahatan atau perilaku menyimpang dapat pula dijelaskan melalui suatu pendekatan sosiogenik dalam kriminologi yang menekankan pada aspek-aspek prosesual dari terjadi dan berlangsungnya penyimpangan terutama dalam hubungannya dengan reaksi sosial.
Dari sudut pandang ini, perilaku menyimpang adalah akibat penilaian sosial yang ditujukan pada seseorang.
Salah satu teori yang dikenal didalam kriminologi yang juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Lemert menguraikan tentang proses-proses seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi disekitar status-statussebagai pelaku penyimpangan.
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut Kartini Kartono dalam bukunya “patologi sosial” yaitu:
1.    Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya. Setiap orang  normal bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/ iblis atau nafsu-nafsu durjana angkara.dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan setengah atau tidak sadar karena terbujuk oleh godaan iblis , orang baik-baik bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang siapa melanggar Perintah Tuhan, dia harus mendapatkan hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.
2.    Teori Filsafat tentang Manusia (Antropologi dan Transendental)
Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi / personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”. Jiwa ini merupakan prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, jiwa mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila. Mengarahkan manusia pada usaha transedensi diri dan konstruksi diri.
Jasmani menusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip ketidakselesain mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan,  dan kejahatan.
Kecenderungan mengarahkan pada kebinasaan dan kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan menggelinding ke bawah, yang berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedangkan aktivitas manusia menuju pada konstruksi diri dan transendensi diri, melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan luhur, benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat harus diperjuangkan secara gigih, agar orang tidak terseret kebawah melakukan kejahatan.  
3.    Teori Kemauan Bebas (Free Will)
Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya. Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan: hukum, norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya disertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut berbuat kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori kemauan bebas ini tidak menyebutkan roh-roh jahat sebagai sebab musabab kejahatan. Akan tetapi, sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan perbuatan durjana, maka tidak ada seorang pun, tidak satu deawapun, bahkan tidak juga Tuhan dan sebuah kitab suci pun bisa melarang perbuatan kriminalnya. Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali oleh masyarakat.
4.    Teori Penyakit Jiwa
Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis, sehingga individu yang berkelainan individu sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat dan defek moral.
Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik (kegilaan), kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensia sosial. Mereka amat fanatikdan sangat egoistik, juga selalu menentang norma lingkungan dan norma etis.sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar,  kurang ajar, dan ganas buas terhadap siapa pun tanpa suatu sebab. Sikapnya senantiasa menyakiti hati orang lain dan seringkali bertinglkah laku kriminal.
Kelemahan dan kegagalannya terutama ialah: dia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan mengatur laku yang salah dan jahat. Sehingga sering melekukan kekerasan, penyerangan dan kejahatan.
Banyak orang yang defekt moral memiliki simpton-simpton psikotis, khususnya berupa penyimpangan dalam relasi kemanusiaan. Sikapnya dingin beku, tanpa afeksi atau perasaan.
Pada umumnya, bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual dan residivis-residivis itu lebih kecil dari pada tubuh orang normal. Berat badannya juga lebih kurang daripada bobot orang dewasa pada umumnya.
5.    Teori Fa’al Tubuh (Fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri jasmani dan bentuk-bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituasikan kepribadian seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Pada umumnya, penjahat-penjahat sadis itu mempunyai ciri-ciri jasmani khusus dan mereka itu dikelompokkan tipe kriminal. Kebanyakan dari para kriminal itu mengidap penyakit ayan/ epilepsi sejak lahir. Ringkasnya, sebab musabab kejahatan-kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial. Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
1)   Teori-Teori yang Membahas Peranan Faktor-Faktor Sosio-Kultural
Ø    Teori “differential opportunity strukture”
Ø    Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Ø    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi krisis”
2)   Teori-teori yang membahas faktor-faktor interaksi
Ø Teori “transmissi kebudayaan
Ø Teori “differential association”
3)   Teori-teori tentang faktor pencetus
4)   Teori tentang faktor reaksi sosial
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut kartini kartono dalam bukunya patologi sosial: Teori teologis, Teori filsafat tentang manusia, Teori kemauan bebas ,Teori  penyakit jiwa dan teori fa’al tubuh.


DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
Mustofa, Muhammad. Kriminologi. Jakarta: FISIP UI Press, 2007.